Di
mana ada masyarakat di situ ada bahasa. Setiap masyarakat pasti
memiliki
bahasa. Suku bangsa adalah salah satu contoh masyarakat.
Menurut
Koentjaraningrat (1999), jumlah suku bangsa Indonesia menurut
Zulyani
Hidayah ada sebanyak 656, sedangkan menurut J.M. Melalatoa
ada
sebanyak 500. Bila kita asumsikan setiap satu suku bangsa Indonesia
memiliki
satu bahasa, maka jumlah bahasa yang ada di Indonesia berkisar
antara
500 sampai dengan 656 bahasa. Perkiraan itu membawa kita pada
satu
kesimpulan bahwa keadaan bahasa di Indonesia sangat beragam.
Persebaran
bahasa-bahasa kesukuan di Indonesia tidaklah sama. Ada
bahasa
suku yang memiliki persebaran cukup luas karena penyebaran
penuturnya
yang sangat luas dan terus berkembang. Ada juga bahasa
suku
yang memiliki persebaran tidak luas juga dikarenakan penyebaran
penuturnya
yang sangat terbatas. Program pembangunan juga turut
mempengaruhi
penyebaran bahasa suku, salah satu contohnya adalah
transmigrasi.
Hal ini semakin mempersulit untuk menentukan secara pasti
persebaran
suatu bahasa suku.
Kebanyakan
orang Indonesia dapat menuturkan dua bahasa. Sering
menukar
penggunaan bahasa Indonesia, bahasa nasional, dengan
(sedikitnya)
satu bahasa daerah atau bahasa suku bangsa. Bahasa Nasional
dianggap
sebagai bahasa resmi, untuk digunakan di sekolah atau di
pertemuan
resmi. Ada banyak kecualian, tentu saja termasuk upacara dan
pertunjukan
bahasa daerah harus digunakan. Penggunaan bahasa daerah
dipihak
lain, lebih sering merupakan norma pada situasi tidak resmi, seperti
di
rumah dan di dalam urusan antaranggota sesama kelompok suku
bangsa.
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertama dari setiap masyarakat
suku
bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada penggunaan bahasa daerah
di
sekolah negeri hingga kelas 3 SD (Indonesia Heritage, jilid 10, 2002).
Setiap
orang dalam masyarakat bahasa di Indonesia dapat
menunjukkan
sedikitnya tiga tingkat interaksi linguistik, Yaitu:
1.
Tingkat suku bangsa, yaitu penggunaan bahasa dalam kelompok
bahasa
suku bangsa tertentu, misalnya antara sesama orang Melayu,
Riau,
Ambon, Sunda, Batak, Bugis, Jawa, dan sebagainya.
2.
Tingkat antarsuku bangsa, yaitu penggunaan bahasa di antara
masyarakat
kelompok sukubangsa yang berbeda. Misalnya
percakapan
antara orang Batak dengan orang Sunda, orang Ambon
dengan
orang Jawa, orang Minangkabau dengan orang Bugis, dan
sebagainya.
Tidak selalu mereka menggunakan bahasa Indonesia,
mungkin
mereka menggunakan bahasa tertentu yang dapat mereka
mengerti.
3.
Tingkat nasional, yaitu penggunaan bahasa pada tingkat nasional,
tentu
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sangat nampak
pada
acara-acara resmi dan keagamaan pada tingkat nasional serta
di
dunia pendidikan.
Pada
hierarki ini, bahasa Melayu salah satu bahasa daerah
berkedudukan
unggul, karena penjelmaannya di tingkat nasional sebagai
bahasa
Indonesia, bahasa nasional. (Indonesiam Heritage, Jilid 10, 2002).
Bahasa
Melayu adalah salah satu bahasa daerah yang memiliki
wilayah
persebaran yang cukup luas. Ada bahasa Melayu Riau, bahasa
Melayu
Jambi, dan bahasa Melayu Langkat. Demikian juga halnya dengan
bahasa
Jawa, ada bahasa Jawa Surakarta, bahasa Jawa Banyumas, dan
bahasa
Jawa Surabaya. Kondisi yang sama kemungkinan besar akan
ditemukan
pada bahasa daerah lainnya. Apakah yang membedakan
bahasa
Melayu Langkat dengan Melayu Riau? Apakah yang membedakan
bahasa
Jawa Surakarta dengan bahasa Jawa Banyumas? Yang
membedakan
adalah variasi mereka dalam mengucapkannya yang pada
akhirnya
melahirkan logat, dialek atau aksen bahasa. Satu bahasa daerah
(bahasa
suku bangsa) sangat mungkin memiliki beberapa dialek. Dengan
demikian,
jumlah dialek sudah pasti lebih banyak daripada jumlah bahasa
yang
ada di Indonesia. Keberadaan dialek memperjelas teori yang
menyatakan
bahwa bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam,
suku
bangsa, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan.
Variasi
berbahasa, dialek, logat atau aksen dimiliki setiap orang,
bahkan
tanpa disadari melekat dalam diri setiap orang dan nampak ketika
mengucapkan
kata-kata dalam bahasa daerah ataupun bahasa nasional.
Bahasa
nasional adalah bahasa Indonesia, tetapi cara-cara setiap suku
bangsa
Indonesia dibedakan oleh aksen, logat atau dialek. Dialek orang
Ambon
menggunakan bahasa Indonesia sangat berbeda dengan orang
Jawa,
Madura, Mingkabau, Batak, Melayu, dan sebagainya. Bahkan bagi
orang-orang
yang sudah mengenal berbagai suku bangsa Indonesia, dari
dialeknya
mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia, dapat
mengetahui
asal – usul daerah dan suku bangsanya.
Dimanakah
kita dapat mendengar dan mengetahui bahasa dan dialek
dari
masyarakat bahasa (suku bangsa) yang ada di Indonesia? Kita dapat
mengetahui
dan mendengar pada percakapan dari masyarakat bahasa
yang
bersangkutan. Kita dapat mengetahui dan mendengarnya melalui
tradisi
lisan yang ada pada setiap masyarakat bahasa (suku bangsa) yang
ada
di Indonesia. Bila kita ingin mengetahui dan mendengar bahasa dan
dialek
bahasa Jawa, kita dapat mewujudkan melalui tradisi lisan
masyarakat
Jawa, di antaranya wayang kulit. Wayang kulit adalah teater
boneka
bayang-bayang Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber
dari
legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang
kulit
disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah
dianggap
sebagai tempat asal bentuk teater ini. Bila kita ingin mengetahui
dan
mendengar bahasa dan dialek Melayu Riau, kita dapat
mewujudkannya
melalui tradisi lisan masyarakat Melayu Riau, yaitu Mak
Yong.
Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi kelas atas di istana sultan,
khususnya
di Kelantan (sekarang Malaysia bagian timur laut) dan Raiu-
Lingga,
jantung peradaban Melayu hingga tahu 1700-an. Fungsi Mak
Yong
memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa. Sultan dan
isterinya
merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk sultan
sebenarnya
merupakan persembahan kepada Tuhan.
Apakah
keterkaitan antara bahasa, dialek dan tradisi lisan? Uraian di
atas
telah menjelaskannya. Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang
digunakan
manusia dalam berkomunikasi. Setiap orang sangat
dipengaruhi
oleh letak geografis, politik, ekonomi dan adat istiadat dalam
berbahasa,
sehingga muncullah dialek dalam berbahasa. Salah satu sarana
untuk
mengetahui dan mendengar dialek bahasa adalah tradisi lisan.
Secara
sederhana dapat disimpulkan, bahasa melahirkan dialek yang
dipelihara,
dikembangkan dan diwariskan melalui tradisi lisan.
Perkembangan
suatu bahasa, dialek, dan tradisi lisan dapat menuju
kepada
dua arah, yaitu menjadi lebih luas daerah pakainya. Bahkan
mungkin
dapat menjadi bahasa baku, ataupun sebaliknya, yakni malah
dapat
lenyap sama sekali. Baik perkembangannya yang membaik maupun
yang
memburuk, semuanya itu selalu kembali kepada faktor-faktor
penunjangnya,
yaitu apakah itu faktor kebahasaan ataukah faktor luar
bahasa.
Contoh perkembangan membaik, misalnya saja adalah diangkat
dan
diakuinya bahasa dan dialek Sunda kota Bandung sebagai bahasa
Sunda
baku dan bahasa sekolah di Jawa Barat, serta bahasa Jawa kota
Surakarta
sebagai bahasa baku Jawa dan bahasa sekolah di Jawa Tengah.
Contoh
perkembangan memburuk, misalnya adalah lenyapnya bahasa
dan
dialek Sunda di kampung Legok Indramayu, yang sekarang hanya
dapat
menggunakan bahasa Jawa Cirebonan. Kelenyapan bahasa dan
dialek
ini sebenarnya merupakan keadaan yang paling buruk yang pernah
dialami
oleh sesuatu bahasa ataupun dialek.
Perkembangan
membaik mungkin terjadi pada bahasa, dialek dan
tradisi
lisan dengan jumlah penutur di atas 1.000.000 (satu juta orang).
Kekhawatiran
perkembangan memburuk sangat mungkin terjadi pada
bahasa,
dialek, dan tradisi lisan dengan jumlah penutur yang sedikit (di
bawah
satu juta orang) dan diancam bahaya kepunahan. Ada beberapa
faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya perkembangan memburuk
suatu
bahasa, dialek dan tradisi lisan, antara lain:
a.
Adanya susupan bahasa kebangsaan kepada bahasa daerah, dan
susupan
bahasa kebangsaan dan bahasa baku bahasa daerah ke dalam
dialek.
Terjadi atau masuknya susupan bahasa ini antara lain dapat
melalui
berbagai saluran, baik resmi ataupun tidak resmi, seperti:
1)
Sekolah atau lembaga pendidikan
2)
Saluran budaya
b.
Faktor sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin baiknya keadaan
juga
merupakan faktor penunjang bagi membaiknya taraf kehidupan
sosial
masyarakat. Dengan bertambah baiknya taraf kehidupan sosial
tersebut,
maka kemungkinan untuk memperoleh pendidikan yang
lebih
baik, dan memperoleh kedudukan yang lebih baik pun menjadi
lebih
terbuka pula. Sementara itu, dengan terbukanya kesempatan
tersebut,
maka banyak pula warga masyarakat yang berusaha serta
mencapainya.
Pada umumnya, untuk semua itu mereka harus
meninggalkan
kampung halamannya, dan pergi ke kota yang lebih
besar
sesuai dengan taraf yang hendak mereka capai sebelumnya.
Akan
tetapi, di sana mereka harus hidup dalam lingkungan yang
mungkin
berbeda dengan lingkungan di kampung asalnya masingmasing.
Sebagai
hasil akhirnya, kalau pun ada di antara mereka yang
kembali
ke kampung halamannya, namun biasanya mereka tetap
mempertahankan
cara-cara hidup yang pernah mereka peroleh
selama
di rantau. Pada taraf bahasa daerah, biasanya mereka akan
memperlihatkan
pengaruh bahasa kebangsaan dan bahasa asing
dalam
tuturan (tutur kata) mereka. Pada tingkat dialek, biasanya
mereka
akan tetap mempergunakan bahasa baku karena sekarang
mereka sadar bahwa ternyata dialeknya
tidak sebaik bahasa baku.
sumber : Antropologi Kontekstual XI SMA/MA Program Bahasa
kerenn blognya....
BalasHapus