• Etnosentrime
“ … Etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary ).
Ada satu suku Eskimo yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert, 1973, hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang secara formal didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri” adalah pusat segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
• Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah kebalikan yang tepat dari kata etnosentrisme [Shils, 1972; Wilson et al, 1976]. Diyakini bahwa produk, gaya, atau gagasan kita sendiri pasti lebih inferior daripada yang berasal dari luar. Ini adalah suatu pendirian bahwa sesuatu yang eksotis memiliki daya tarik khusus yang tidak dapat dicapai oleh sesuatu yang lazim. Faham ini didasarkan pada daya tarik yang asing dan yang jauh serta yang dibawa dari pusat kebudayaan yang jauh, yang dianggap jauh dari batas-batas lingkungan masyarakat sendiri yang kotor.
Ada banyak kesempatan ketika orang-orang merasa bahagia membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsi bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik. Apa yang berlaku pada produk materi juga berlaku dalam gagasan dan gaya hidup. Meskipun Amerika Serikat pada mulanya delu-elukan sebagai benteng pertahanan kemerdekaan yang menentang despotisme Eropa, tidak perlu waktu lama bagi para cendekiawan untuk mengadopsi pandangan xenosentisme:
Ada banyak kesempatan ketika orang-orang merasa bahagia membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsi bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik. Apa yang berlaku pada produk materi juga berlaku dalam gagasan dan gaya hidup. Meskipun Amerika Serikat pada mulanya delu-elukan sebagai benteng pertahanan kemerdekaan yang menentang despotisme Eropa, tidak perlu waktu lama bagi para cendekiawan untuk mengadopsi pandangan xenosentisme:
Baru saja penyeberangan samudera menjadi kegiatan yang menyenangkan, [orang Amerika yang meninggalkan negaranya] yakni menyeberang Samudera Atlantik menuju suasana kultural yang lebih menyenangkan di Eropa…mengecam materialisme di Amerika… yang dulu dihubungkan dengan kalangan aristokrat, sekarang disuarakan oleh para cerdik pandai, “Cocacolization”, yakni kekasaran cara hidup yang merembes. Amerika Serikat dipandang sebagai sumber, atau paling tidak prototip kebudayaan yang didasarkan pada pemilikan (benda), pada difusi pemujaan kebendaan; dan keterangan ini dinilai dengan kasar. (Oscar Handlin, Liberal Democracy and the Image of America, Freedom at Issue, 43, November/December, 1977, hal 14-15. Dicetak kembali dengan izin)
Mereka yang meninggalkan negaranya untuk tinggal di luar negeri bukanlah satu-satunya yang menolak etnosentrisme. Dalam setiap masyarakat, beberapa orang menolak kelompok mereka atau beberapa bagian kebudayaannya. Contohnya, ada orang Yahudi yang anti bangsa Semit, orang-orang kulit hitam yang anti identitas kulit hitam, dan seterusnya.
Para sejarawan revisionis yang menyalahkan Amerika untuk segala kericuhan dunia dan para kritisi yang radikal yang dengan gembira mendamprat setiap keluarga di Amerika, tetapi buta terhadap kekasaran dan kebrutalan kaum komunis serta negara-negara dunia ketiga, mungkin sama tidak rasionalnya dengan pengibar bendera yang paling etnosentris.
Para sejarawan revisionis yang menyalahkan Amerika untuk segala kericuhan dunia dan para kritisi yang radikal yang dengan gembira mendamprat setiap keluarga di Amerika, tetapi buta terhadap kekasaran dan kebrutalan kaum komunis serta negara-negara dunia ketiga, mungkin sama tidak rasionalnya dengan pengibar bendera yang paling etnosentris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar