Jumat, 17 Mei 2013

Bahasa Dan Dialek


Ada dua ciri bahasa yang saling bertentangan, yakni ciri universal dan ciri lokal (unik). Ciri universal bahasa, diantaranya terletak pada fonologi, morfologi, dan sematik yang ditemukan pada hampir semua bahasa yang terletak pada adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah besar, jalan besar dan orang pandai yang juga ditemui di berbagai bahasa di dunia. Sifat universal bahasa dapat juga ditemui di persamaan kata pada beberapa bahasa di dunia. Fakta ini memperkuat dugaan para ahli bahwa pada asal mulanya bahasa manusia itu adalah satu dan sama. Sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa, Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek. Bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dapat kita temui pada Mandra yang terkenal dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan. Bahasa Indonesia dengan dialek Madura diwakili oleh Kadir dalam sinetron Kanan Kiri Oke. Bahasa Indonesia dengan dialek Batak diwakili oleh Si Raja Minyak yang diperankan oleh Ruhut Sitompul dalam sinetron Gerhana, dan sebagainya.
Bahasa sebagai suatu sistem memiliki multimakna. Dari sekian banyak makna, ada tiga makna yang memunculkan variasi-variasi dan dialek bahasa dalam kehidupan manusia, yaitu:
1. Bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa Jawa mempunyai 100 kata untuk menyebutkan berbagai anak
binatang yang tidak ada dalam bahasa lain. Bahasa Inggris mempunyai lebih dari 50 kata untuk menggambarkan berbagai bentuk daun yang tidak dikenal dalam bahasa lain.
2. Bahasa mempunyai variasi-variasi
karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerjasama
dan berkomunikasi, karena kelompok manusia tersebut banyak ragamnya
yang berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan, serta penggunaan
bahasa untuk berbagai macam keperluan. Di lingkungan masyarakat Jakarta misalnya, Si Ucok memiliki kebiasaan sehari-hari untuk mengakhiri tuturnya dengan kata ‘bukan?’, namun tetangganya yang bernama si Andi, si Oneng dan si Ujang tidak suka dengan kebiasaan semacam itu. Pilihan kata-kata antara seseorang dengan orang lain pun juga berbeda. Sebenarnya semuanya itu masih tetap kita sebut satu bahasa, semuanya merupakan perbendaharaan dari suatu bahasa. Nah, tutur kata dari setiap anggota masyarakat bahasa (misalnya masyarakat bahasa Batawi, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain), yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan kecil semacam itulah yang kita sebut sebagai idiolek. Atau dengan bahasa yang sangat sederhana dapatlah dikatakan bahwa yang dinamakan idiolek adalah keseluruhan ciriciri
dalam ujaran perseorangan. Bahasa bersifat unik yang membuatnya berbeda dengan bahasa lainnya yang ada di dunia ini. Bahasa sangat variatif yang timbul dari keperluan dan pribadi pengguna bahasa. Bahasa sebagai sarana identifikasi kelompok sosial. Soalnya adalah apakah yang menjad dasar pemberda yang memunculkan dialek bahasa? Menurut Harimurti Kridalaksana (1970) adalah waktu dan tempat. Menurut Robert Sibarani (2002) adalah budaya yang menjadi latar belakangnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang
berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Contohnya adalah:
a) Makna leksikon godang pada dialek Angkola/Mandailing berarti banyak sedangkan makna leksikon godang pada dialek Batak Toba berarti besar.
b) Makna leksikon penyakit kelaminnya telah bertambah larut (bahasa Malaysia) sama dengan penyakit istrinya telah bertambah parah (bahasa Indonesia).
c) Makna leksikon ran itu didiami oleh sekelamin orang sakai (bahasa Malaysia) sama dengan pondok itu didiami oleh sepasang orang Sakai (bahasa Indonesia).
d) Keadaan serupa dapat juga kita temui pada bahasa Jawa dan Sunda, yaitu :
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
amis ‘manis’ amis ‘manis’
gedang ‘pepaya’ gedang ‘pisang’
raos ‘enak’ raos ‘rasa’
atos ‘sudah’ atos ‘keras’
cokot ‘ambil’ cokot ‘gigit’
3. Dengan bahasa suatu kelompok sosial bisa mengidentifikasi
dirinya.
 Di antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain.
Gaya bahasa menunjukkan identitas suatu kelompok sosial. Gaya bahasa Indonesia masyarakat Bugis berbeda dengan gaya bahasa masyarakat Samarinda, masyarakat Bali, masyarakat Madura,
masyarakat Lampung, masyarakat Melayu Riau, masyarakat Aceh, dan sebagainya. Bahasa yang menunjukkan identifikasi sosial pemakainya disebut dengan masyarakat bahasa. Menurut Halliday yang dikutip F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama. Masyarakat bahasa sangat erat hubungannya dengan subjektivitas pemakainya. Secara linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah satu bahasa yang sama, namun masyarakat bahasa yang memakai kedua bahasa tersebut menganggapnya Bahasa Sunda Bahasa Jawa
amis ‘manis’ amis ‘manis’
gedang ‘pepaya’ gedang ‘pisang’
raos ‘enak’ raos ‘rasa’
atos ‘sudah’ atos ‘keras’
cokot ‘ambil’ cokot ‘gigit’
sebagai bahasa yang berbeda. Akibatnya muncullah dua masyarakat bahasa yang berbeda. Masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia. Kondisi ini mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakai bahasa yang bersangkutan. Anggota masyarakat bahasa
Indonesia terasa semakin akrab dengan sesamanya yang menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan orang dari masyarakat bahasa Malaysia, begitu juga sebaliknya. Bahasa membentuk identitas suatu kelompok sosial yang akan mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakainya.

sumber : Antropologi Kontekstual XI SMA/MA Program Bahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar