Ada
dua ciri bahasa yang saling bertentangan, yakni ciri universal dan ciri lokal
(unik). Ciri universal bahasa, diantaranya terletak pada fonologi, morfologi,
dan sematik yang ditemukan pada hampir semua bahasa yang terletak pada
adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah
besar, jalan besar dan orang
pandai yang juga ditemui di
berbagai bahasa di dunia. Sifat universal bahasa dapat juga ditemui di
persamaan kata pada beberapa bahasa di dunia. Fakta ini memperkuat dugaan para
ahli bahwa pada asal mulanya bahasa manusia itu adalah satu dan sama. Sifat
lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca
Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi
cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan
asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam
mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa,
Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk
aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek. Bahasa
Indonesia dengan dialek Betawi dapat kita temui pada Mandra yang terkenal
dengan sinetronnya Si
Doel Anak Sekolahan. Bahasa
Indonesia dengan dialek Madura diwakili oleh Kadir dalam sinetron Kanan Kiri Oke. Bahasa Indonesia dengan dialek Batak
diwakili oleh Si Raja Minyak yang diperankan oleh Ruhut Sitompul dalam sinetron
Gerhana, dan sebagainya.
Bahasa
sebagai suatu sistem memiliki multimakna. Dari sekian banyak makna, ada tiga
makna yang memunculkan variasi-variasi dan dialek bahasa dalam kehidupan
manusia, yaitu:
1.
Bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem
yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa Jawa mempunyai 100
kata untuk menyebutkan berbagai anak
binatang
yang tidak ada dalam bahasa lain. Bahasa Inggris mempunyai lebih dari 50 kata
untuk menggambarkan berbagai bentuk daun yang tidak dikenal dalam bahasa lain.
2.
Bahasa mempunyai variasi-variasi
karena
bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerjasama
dan
berkomunikasi, karena kelompok manusia tersebut banyak ragamnya
yang
berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan, serta penggunaan
bahasa
untuk berbagai macam keperluan. Di lingkungan masyarakat Jakarta misalnya, Si
Ucok memiliki kebiasaan sehari-hari untuk mengakhiri tuturnya dengan kata ‘bukan?’,
namun tetangganya yang bernama si Andi, si Oneng dan si Ujang tidak suka dengan
kebiasaan semacam itu. Pilihan kata-kata antara seseorang dengan orang lain pun
juga berbeda. Sebenarnya semuanya itu masih tetap kita sebut satu bahasa,
semuanya merupakan perbendaharaan dari suatu bahasa. Nah, tutur kata dari setiap
anggota masyarakat bahasa (misalnya masyarakat bahasa Batawi, Sunda, Jawa,
Bali, dan lain-lain), yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan kecil semacam
itulah yang kita sebut sebagai idiolek. Atau dengan bahasa yang sangat
sederhana dapatlah dikatakan bahwa yang dinamakan idiolek adalah keseluruhan
ciriciri
dalam
ujaran perseorangan. Bahasa bersifat unik yang membuatnya berbeda dengan bahasa
lainnya yang ada di dunia ini. Bahasa sangat variatif yang timbul dari
keperluan dan pribadi pengguna bahasa. Bahasa sebagai sarana identifikasi
kelompok sosial. Soalnya adalah apakah yang menjad dasar pemberda yang memunculkan
dialek bahasa? Menurut Harimurti Kridalaksana (1970) adalah waktu dan tempat.
Menurut Robert Sibarani (2002) adalah budaya yang menjadi latar belakangnya.
Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang
berbeda
sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Contohnya
adalah:
a)
Makna leksikon godang
pada dialek Angkola/Mandailing berarti banyak sedangkan makna leksikon godang pada dialek Batak Toba berarti besar.
b)
Makna leksikon penyakit
kelaminnya telah bertambah larut (bahasa
Malaysia) sama dengan penyakit
istrinya telah bertambah parah
(bahasa Indonesia).
c)
Makna leksikon ran
itu didiami oleh sekelamin orang sakai (bahasa
Malaysia) sama dengan pondok
itu didiami oleh sepasang orang
Sakai (bahasa Indonesia).
d)
Keadaan serupa dapat juga kita temui pada bahasa Jawa dan Sunda, yaitu :
Bahasa
Sunda Bahasa Jawa
amis
‘manis’ amis ‘manis’
gedang
‘pepaya’ gedang ‘pisang’
raos
‘enak’ raos
‘rasa’
atos
‘sudah’ atos ‘keras’
cokot
‘ambil’ cokot ‘gigit’
3.
Dengan bahasa suatu kelompok sosial bisa mengidentifikasi
dirinya.
Di
antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa
tiap kelompok sosial merasa
dirinya sebagai kesatuan yang berbeda
dari kelompok lain.
Gaya
bahasa menunjukkan identitas suatu kelompok sosial. Gaya bahasa Indonesia
masyarakat Bugis berbeda dengan gaya bahasa masyarakat Samarinda, masyarakat
Bali, masyarakat Madura,
masyarakat
Lampung, masyarakat Melayu Riau, masyarakat Aceh, dan sebagainya. Bahasa yang menunjukkan
identifikasi sosial pemakainya disebut dengan masyarakat bahasa. Menurut Halliday yang dikutip F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami
Linguistik (2005), masyarakat
bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai
bahasa yang sama. Masyarakat bahasa sangat erat hubungannya dengan subjektivitas
pemakainya. Secara linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah satu
bahasa yang sama, namun masyarakat bahasa yang memakai kedua bahasa tersebut
menganggapnya Bahasa Sunda Bahasa Jawa
amis
‘manis’ amis ‘manis’
gedang
‘pepaya’ gedang ‘pisang’
raos
‘enak’ raos
‘rasa’
atos
‘sudah’ atos ‘keras’
cokot
‘ambil’ cokot ‘gigit’
sebagai
bahasa yang berbeda. Akibatnya muncullah dua masyarakat bahasa yang berbeda.
Masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia. Kondisi ini mempengaruhi
keakraban dan keintiman pemakai bahasa yang bersangkutan. Anggota masyarakat
bahasa
Indonesia
terasa semakin akrab dengan sesamanya yang menggunakan bahasa Indonesia
dibandingkan dengan orang dari masyarakat bahasa Malaysia, begitu juga
sebaliknya. Bahasa membentuk identitas suatu kelompok sosial yang akan
mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakainya.
sumber : Antropologi Kontekstual XI SMA/MA Program Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar