Jumat, 24 Mei 2013

PENYELESAIAN MASALAH AKIBAT KEBERAGAMAN BUDAYA DI INDONESIA


Dampak Keberagaman Budaya di Indonesia
Dalam bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai potensi
keberagaman budaya di Indonesia. Yang menjadi sebuah pertanyaan
besar adalah dampak dari keberagaman budaya bagi integrasi bangsa.
Di dalam potensi keberagaman budaya tersebut sebenarnya
terkandung potensi disintegrasi, konflik, dan separatisme sebagai
dampak dari negara kesatuan yang bersifat multietnik dan struktur
masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. Menurut David
Lockwood konsensus dan konflik merupakan dua sisi mata uang
karena konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara
bersama-sama di dalam masyarakat. Sejak merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, Indonesia selalu diwarnai oleh
gerakan separatisme, seperti gerakan separatis
DI/TII dan RMS di Maluku. Gerakan
tersebut saat ini juga berlangsung di Provinsi
Papua yang dilakukan oleh OPM (Organisasi
Papua Merdeka) di provinsi paling timur di
Indonesia tersebut.
Karena struktur sosial budayanya yang
sangat kompleks, Indonesia selalu berpotensi
menghadapi permasalahan konflik antaretnik,
kesenjangan sosial, dan sulitnya terjadi
integrasi nasional secara permanen. Hal
tersebut disebabkan adanya perbedaan
budaya yang mengakibatkan perbedaan
dalam cara pandang terhadap kehidupan
politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Menurut Samuel Huntington, Indonesia
adalah negara yang mempunyai potensi disintegrasi paling besar setelah
Yugoslavia dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Menurut Clifford
Geertz apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman
etnik, budaya, dan solidaritas etniknya maka Indonesia akan
berpotensi pecah menjadi negara-negara kecil. Misalnya, potensi
disintegrasi akibat gerakan Organisasi Papua Merdeka yang
menginginkan kemerdekaan Provinsi Papua dari Indonesia.
Pola kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi
dua. Pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat
(custom differentiation) karena adanya perbedaan etnik, budaya, agama,
dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan
struktural (structural differentiation) yang disebabkan oleh adanya
perbedaan kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik
antaretnik yang menyebabkan kesenjangan sosial antaretnik.
Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan
atau dampak akibat keberagaman budaya tersebut, antara
lain sebagai berikut.
1. Berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik.
2. Pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang
mengintegrasikan masyarakat.
Namun, kemajemukan masyarakat tidak
selalu menunjukkan sisi negatif saja. Pada
satu sisi kemajemukan budaya masyarakat
menyimpan kekayaaan budaya dan khazanah
tentang kehidupan bersama yang harmonis
apabila integrasi masyarakat berjalan dengan
baik. Pada sisi lain, kemajemukan selalu
menyimpan dan menyebabkan terjadinya
potensi konflik antaretnik yang bersifat laten
(tidak disadari) maupun manifes (nyata) yang
disebabkan oleh adanya sikap etnosentrisme,
primordialisme, dan kesenjangan sosial.
Salah satu gejala yang selalu muncul
dalam masyarakat majemuk adalah terjadinya
ethnopolitic conflict berbentuk
gerakan separatisme yang dilakukan oleh
kelompok etnik tertentu. Etnopolitic conflict
dapat dilihat dari terjadinya kasus Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Gerakan perlawanan
ini bukan hanya timbul karena didasari oleh
adanya ketidakpuasan secara politik masyarakat
Aceh yang merasa hak-hak dasarnya
selama ini direbut oleh pemerintah pusat.
Selama ini rakyat Aceh merasa terpinggirkan
untuk mendapatkan akses seluruh kekayaan
alam Aceh yang melimpah ditambah adanya
sikap primordialisme dan etnosentrisme
masyarakat Aceh yang sangat kuat.
Pola etnopolitic conflict dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu
pertama, konflik di dalam tingkatan ideologi. Konflik ini terwujud dalam
bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh pendukung suatu
etnik serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, konflik yang
terjadi dalam tingkatan politik. Konflik ini terjadi dalam bentuk
pertentangan dalam pembagian akses politik dan ekonomi yang terbatas
dalam masyarakat.
Perbedaan kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan
politik, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya
sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan
dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik, baik dalam
tingkat lokal maupun nasional. Dominasi etnik tersebut pada akhirnya
melahirkan kebudayaan dominan (dominant culture) dan kebudayaan
tidak dominan (inferior culture) yang akan melahirkan konflik antaretnik
yang berkepanjangan. Dominasi etnik dan kebudayaan dalam suatu
masyarakat apabila dimanfaatkan untuk kepentingan golongan selalu
melahirkan konflik yang bersifat horizontal dan vertikal.

Alternatif Penyelesaian Masalah Keberagaman Budaya di
Indonesia
Berbagai persoalan yang timbul akibat keberagaman budaya bangsa
Indonesia yang plural dan majemuk ini memerlukan sebuah model
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga konflik
sosial yang selama ini berkembang dapat diminimalkan. Sebuah
masyarakat yang memiliki karakteristik heterogen pola hubungan sosial
antarindividunya di dalam masyarakat, harus mampu mengembangkan
sifat toleransi dan menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara
damai satu sama lain dengan menerima setiap perbedaan-perbedaan yang
melekat pada keberagaman budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah konsep yang mampu mewujudkan situasi dan kondisi sosial yang
penuh kerukunan dan perdamaian meskipun terdapat kompleksitas
perbedaan. Kebesaran kebudayaan suatu bangsa terletak pada kemampuannya
untuk menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman
kebudayaan dalam sebuah kesatuan yang dilandasi suatu ikatan kebersamaan.
Salah satu pengembangan konsep toleransi terhadap keberagaman
budaya adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural
dengan bentuk pengakuan dan toleransi, terhadap perbedaan dalam
kesetaraan individual maupun secara kebudayaan. Dalam masyarakat
multikultural, masyarakat antarsuku bangsa dapat hidup berdampingan,
bertoleransi, dan saling menghargai. Nilai budaya tersebut bukan hanya
merupakan sebuah wacana, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan
Ciri khas masyarakat majemuk seperti keanekaragaman suku bangsa
telah menghasilkan adanya potensi konflik antarsuku bangsa dan antara
pemerintah dengan suatu masyarakat suku bangsa. Potensi-potensi
konflik tersebut merupakan permasalahan yang ada seiring dengan sifat
suku bangsa yang majemuk. Selain itu, pembangunan yang berjalan
selama ini menimbulkan dampak berupa terjadinya ketimpangan regional
(antara Pulau Jawa dengan luar Jawa), sektoral (antara sektor industri
dengan sektor pertanian), antarras (antara pribumi dan nonpribumi), dan
antarlapisan (antara golongan kaya dengan golongan miskin).
nilai-nilai etika dan moral dalam perilaku
masyarakat Indonesia. Dalam prinsip multikulturalisme
ini penegakan prinsip-prinsip
demokrasi menjadi tujuan utama nilai-nilai
sosial.
Dalam melaksanakan prinsip demokrasi terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, sistem negara menganut
prinsip demokrasi partisipatif. Dalam sistem demokrasi partisipatif,
hukum adalah supremasi tertinggi dengan tidak memihak pada
kelompok tertentu. Semua kelompok masyarakat, baik mayoritas atau
minoritas, kaya atau miskin dikendalikan melalui prinsip-prinsip
hukum yang objektif. Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana
ekonomi yang relatif merata. Artinya, tidak terjadi ketimpangan sosial
ekonomi antarlapisan, golongan, dan daerah. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan politik sangat penting dalam
mengelola masyarakat majemuk tersebut.
Selain itu, alternatif penyelesaian keberagaman budaya yang ada di
Indonesia dilakukan melalui interaksi lintas budaya dengan
mengembangkan media sosial, seperti pengembangan lambang-lambang
komunikasi lisan maupun tertulis, norma-norma yang disepakati dan
diterima sebagai pedoman bersama, dan perangkat nilai sebagai kerangka
acuan bersama. Sebenarnya interaksi lintas budaya bagi masyarakat Indonesia
yang tersebar di Kepulauan Nusantara bukan merupakan hal
yang baru. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mobilitas penduduk
di Kepulauan Nusantara tersebut cukup tinggi yang tercermin dalam
toponomi perkampungan suku bangsa atau golongan sosial perkotaan
di Indonesia. Gejala tersebut bukan hanya membuktikan betapa tingginya
Berdasarkan pola-pola pemukiman yang tercermin dalam toponomi
perkampungan suku bangsa terdapat pola pembagian kerja yang cukup
rapi antara anggota suku bangsa dan golongan sosial yang membentuk
corporate group perkotaan Indonesia di masa lampau. Pembagian kerja
atau spesialisasi yang menjadi sumber mata pencaharian yang ditekuni
oleh masing-masing kelompok suku bangsa atau golongan sosial tersebut
telah mendorong mereka untuk mendirikan perkampungan yang
memberikan kesan eksklusif. Walaupun perkampungan eksklusif
kesukuan ataupun golongan tersebut kini telah berkurang (survival),
namun dalam perkembangan di perkotaan nampak adanya kecenderungan
para pendatang baru untuk hidup berkelompok dalam suatu
perkampungan. Hal ini didorong oleh adanya kesamaan profesi.
Misalnya, di kota Surakarta terdapat perkampungan batik Laweyan,
perkampungan Islam Kauman atau perkampungan pecinan.
mobilitas penduduk di masa lampau, melainkan juga mencerminkan adanya
pola-pola interaksi sosial lintas budaya.
Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman
Budaya di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri negara telah
menyadari akan arti pentingnya pengembangan kerangka nilai atau etos
budaya yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang bersifat
majemuk. Kesadaran tersebut dituangkan dalam UUD 1945, Pasal 32
yang berbunyi,”pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Hal tersebut diperkuat dalam penjelasan UUD 1945, ”Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli
yang terdapat sebagai puncak-puncak di daerah di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang terdiri atas
kelompok-kelompok suku, agama, daerah,
dan ras yang beraneka ragam. Hal ini merupakan
ciri khas masyarakat Indonesia sehingga
Indonesia disebut sebagai masyarakat majemuk.
Pada beberapa kelompok adat yang ketat,
membedakan antarwarga dengan bukan
warga. Kehadiran orang asing dilalui dengan
mengadakan upacara adopsi untuk mempermudah
perlakuan, kecuali kalau yang
bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai
orang luar atau musuh. Hal tersebut tercermin
dalam upacara penyambutan pejabat di daerah
Tapanuli di masa lampau. Para tamu tersebut
biasanya disambut dengan upacara adat yang
memperjelas kedudukannya dalam struktur
sosial masyarakat Batak yang terikat dalam
hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na
tolu). Pada adat perang suku Dani di pegunungan
Jayawijaya, di luar kelompok kerabat
patrilineal, hubungan kekerabatan berasal dari
kelompok sosial yang sangat kuat sehingga
untuk mempermudah perlakuan terhadap orang
asing maka upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap
tamu asing yang dihormati. Selain itu, di masa lampau, untuk mensahkan
kewenangan Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai wakil ratu, Belanda
mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram. Beliau
diberi gelar sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal untuk
menunjukkan senioritas dalam struktur sosial.
Pengembangan Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap
Keberagaman Budaya di Indonesia
Untuk memelihara kesetiakawanan sosial maka suatu kelompok
suku bangsa biasanya mengembangkan simbol-simbol yang mudah
dikenal, seperti bahasa, adat istiadat, dan agama. Setiap suku bangsa
tersebut merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu. Simbol
ini diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya
dan berfungsi sebagai media untuk memperkuat kesetiakawanan sosial
mereka.
Di Indonesia terdapat suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat
dalam interaksi lintas budaya secara serasi sehingga melahirkan sukusuku
bangsa baru. Ini merupakan hasil amalgamasi atau asimilasi budaya.
Salah satu bentuk amalgamasi budaya yang melahirkan suku bangsa
baru adalah yang terjadi di Batavia. Penduduk Batavia yang berdatangan
dari berbagai tempat dengan memiliki keanekaragaman latar belakang
kebudayaan tersebut berhasil dipersatukan dalam kebudayaan Betawi
yang dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923.
Selanjutnya, setiap kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada
menanggalkan simbol-simbol kesukuan mereka dan mengembangkan
simbol-simbol kesukuan baru serta memilih agama Islam sebagai media
sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial.
1. Proses Integrasi Budaya
Pada masa pendudukan Jepang juga terjadi proses integrasi
budaya di Indonesia. Jepang yang berusaha meraih simpati dari
rakyat Indonesia, dengan mensahkan penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Pengaruh kebijakan tersebut sangat besar dalam pengembangan
budaya kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Keputusan Jepang
untuk memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
tersebut bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan
melainkan juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial,
yaitu pemakaian bahasa Belanda pada masa penjajahan Belanda.
Jasa lain penjajah Jepang yang tidak boleh diabaikan adalah
pembentukan organisasi rukun tetangga (RT) sebagai organisasi
sosial di tingkat lokal. Tujuannya untuk mempersatukan segenap
warga masyarakat tanpa memandang asal usul kesukuan, golongan,
dan latar belakang kebudayaan. Konsep ketetanggaan tersebut akan
memainkan peranan penting dalam menciptakan wadah sosial yang
dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warga, bebas dari
kecurigaan, dan prasangka etnik, ras, dan golongan.
2. Sikap Toleransi dan Empati terhadap Keberagaman Budaya
Agar menghindarkan kecenderungan dominasi suatu suku
bangsa terhadap suku bangsa lainnya maka harus ditingkatkan rasa
toleransi dan empati terhadap keberagaman Indonesia. Misalnya,
proyek pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah
dibatalkan. Apabila proyek ini dilaksanakan dapat menjurus ke arah
dominasi kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan
kepada suku Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang
sesuai dengan arus pembangunan.
3. Penerapan Pendekatan Multikultural
Pengembangan model pendidikan yang
menggunakan pendekatan multikultural
sangat diperlukan untuk menanamkan nilainilai
pluralitas bangsa. Sikap simpati,
toleransi, dan empati akan tertanam kuat
melalui pendidikan multikultural. Masyarakat
menyadari akan adanya perbedaan
budaya dan memupuk penghayatan nilainilai
kebersamaan sebagai dasar dan pandangan
hidup bersama.
Melalui pendidikan multikultural, sejak
dini anak didik ditanamkan untuk menghargai
berbagai perbedaan budaya, seperti etnik,
ras, dan suku dalam masyarakat. Keserasian
sosial dan kerukunan pada dasarnya adalah
sebuah mozaik yang tersusun dari keberagaman
budaya dalam masyarakat. Melalui
pendidikan multikultural, seorang anak
dididik untuk bersikap toleransi dan empati
terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat. Kesadaran akan
kemajemukan budaya dan kesediaan untuk bertoleransi dan
berempati terhadap perbedaan budaya merupakan kunci untuk
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan sikap
toleransi dan empati sosial yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat akan mencegah terjadinya berbagai konflik sosial yang
merugikan berbagai pihak.

sumber : http://www.4shared.com/office/lvSaL65n/sma11antro_KhazanahAntropologi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar