Jumat, 17 Mei 2013

contoh-contoh tradisi lisan


Indonesia terdiri dari bermacam-macam masyarakat bahasa. Setiap
masyarakat bahasa di Indonesia memiliki tradisi lisan, baik yang berupa
mitos, legenda dan dongeng yang dipentaskan berbagai seni pertunjukan
sebagai sarana pewarisan dan pengembangan kebudayaan dari generasi
ke generasi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam
beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari
Indonesian Heritage, jilid 10 (2002).
1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia.
Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra
dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan
dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk
teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan
layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan
berbagai suara dan bunyi-bunyian.
Wayang terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam
inci hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis
hiasan kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi,
sehingga tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang
penting dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya “Pohon
kehidupan”, yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan
ataupun pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan
dalang. Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya,
tetapi juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk
menciptakan suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring
pertunjukkan. Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang.
Di atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir
untuk menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang
yang tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi
satu sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur
keluar dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib
ke tempat asal mereka.
Dalang sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama
pertunjukan ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya.
Ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan
meletakkan sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di depan
layar. Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya.
Dalang mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan
(kayon), menyentuhkannya ke dahi serta meletakkannya di sebelah kanan
atau kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan
pertunjukan dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh
gamelan lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa
Kawi arkais dan sulit dimengerti. Dalang mengimprovisasi banyak dialog,
sementara kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan
pengisahan.
2. Mak Yong
Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan
mulai abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu
ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau,
Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah
karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari,
musik, mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi
kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian
timur laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun
1700-an.
Fungsi Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa.
Sultan dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk
sultan sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan. Bahkan kini
Mak Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak
atau bomoh (seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa
penari dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di
atas panggung. Unsur ritual dilengkapi oleh gong, topeng serta penari
diperciki air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan putri (putri
Mak Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka
kepercayaan diri dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai
keseluruhan pertunjukkan. Di akhir pertunjukan, sang panjak (seorang
pemain gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir
pertunjukkan dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.
Seluruh pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan.
Perempuan sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri. Alat musik ada di antara
mereka. Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode
dan adegan. Lagu-lagu Mak Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri
atas sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa
tambur gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk,
canang, sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya
merupakan alat utama.
Pemain yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan
cara menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang.
Tangannya melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua
jarinya kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna
raja sedang mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan
dari luar dan menolak kejahatan. Para lelaki tidak menari, tetapi melawak
dengan cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit
peralatan panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan
oleh tokoh utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan
untuk menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.
3. Didong
Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah
bagian tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal
dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam
bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi
musik sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari.
Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik
khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan
badan.
Kelompok didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk
berkeliling selama pertunjukkan. Empat atau enam di antara mereka
dikenal sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong. Seorang ceh
harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya.
Pertunjukan didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok
yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada awalnya didong
diadakan sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan,
hari-hari libur penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah
menjadi cara untuk menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan
panitia. Panitia mencari dana untuk membangun mesjid atau sekolah.
Pertunjukkannya akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual, dan untuk
menarik pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong
terkenal. Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam
dengan dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok
diberi waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok melakukan
pergelaran bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan
menggelar sajak permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang
tidak dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang ditetapkan oleh juri yang
khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga
orang ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.
4. Tanggomo
Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi
Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau
peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain
menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam
peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara
harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo
(ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita
dengan semenarik mungkin.
Tanggomo merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar
Gorontalo, kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk
dinikmati oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi, tanggomo
juga menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya
mengambil peritiwa yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita
tanggomo juga meliputi dongeng, mitos dan legenda, peristiwa rekaan
dan ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Pada saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata
dengan bermacam cara dan gaya. Pendongeng diiringi alat musik seperti
gambus, (semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan rebana.
Pendongan juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia
menggunakan gerakan tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan
irama untuk menghidupkan ceritanya. Ta motanggomo menggunakan
gaya bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi
untuk meningkatkan cerita dan memperkuat makna.
5. Rabab Pariaman
Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera
Barat. Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh
tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi
Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di
depannya, lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar
ia juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan.
Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan
berakhir tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat
berkumpul yang mana saja dengan suasana tradisional, di dalam atau di
luar – warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan nagari, dan pestapesta
untuk merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin
satuan matrilineal).
Rabab Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini
Rabab Pariaman mengambil nuansa yang lebih duniawi dan tak boleh
dimainkan di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat keagamaan.
Isi cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai
keberhasilan dalam hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai
keberhasilan dan menimbulkan tanggapan dari penonton.
Teks Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba.
Dendang berbentuk pantun (syair berbaris empat atau lebih) dengan
sistem persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak
bermakna, isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu
genap, kecuali bila ada ulangan pada baris tertentu, tergantung pada irama.
Isi dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang, rindu
kampung halaman, dan sebagainya. Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang dipertunjukkan dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik, dimainkan dengan latar kerajaan dengan tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita, kecenderungannya adalah memilih hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.
6. Pantun Sunda
Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda
di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita
cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair
cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan
pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional,
seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan
berpuasa selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai
bernyanyi.
Seni menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi
menyanyi, mendaki dan menuruni skala pentatonik (lima nada) memetik
kecapi indung, “Induk kecapi” berbentuk perahu. Kedelapanbelas senar
kecapi dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil
ke pasak penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda
menandai suasana hati dan perubahan adegan cerita serta menarik
perhatian, seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.
Kebanyakan kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan
nyanyian dengan syair cerita, berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran,
sebelum beralih ke Islam akhir abad ke – 16. Pada tingkat yang tertinggi,
kisah itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang
dalam hidupnya. Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun
seringkali berimprovisasi, tergantung seleras penonton. Salah satu pantun
Sunda yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang
menceritakan tentang lutung dalam kutukan.

Indonesia terdiri dari bermacam-macam masyarakat bahasa. Setiap
masyarakat bahasa di Indonesia memiliki tradisi lisan, baik yang berupa
mitos, legenda dan dongeng yang dipentaskan berbagai seni pertunjukan
sebagai sarana pewarisan dan pengembangan kebudayaan dari generasi
ke generasi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam
beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari
Indonesian Heritage, jilid 10 (2002).
1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia.
Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra
dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan
dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk
teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan
layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan
berbagai suara dan bunyi-bunyian.
Wayang terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam
inci hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis
hiasan kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi,
sehingga tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang
penting dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya “Pohon
kehidupan”, yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan
ataupun pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan
dalang. Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya,
tetapi juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk
menciptakan suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring
pertunjukkan. Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang.
Di atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir
untuk menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang
yang tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi
satu sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur
keluar dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib
ke tempat asal mereka.
Dalang sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama
pertunjukan ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya.
Ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan
meletakkan sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di depan
layar. Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya.
Dalang mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan
(kayon), menyentuhkannya ke dahi serta meletakkannya di sebelah kanan
atau kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan
pertunjukan dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh
gamelan lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa
Kawi arkais dan sulit dimengerti. Dalang mengimprovisasi banyak dialog,
sementara kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan
pengisahan.
2. Mak Yong
Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan
mulai abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu
ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau,
Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah
karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari,
musik, mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi
kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian
timur laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun
1700-an.
Fungsi Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa.
Sultan dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk
sultan sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan. Bahkan kini
Mak Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak
atau bomoh (seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa
penari dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di
atas panggung. Unsur ritual dilengkapi oleh gong, topeng serta penari
diperciki air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan putri (putri
Mak Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka
kepercayaan diri dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai
keseluruhan pertunjukkan. Di akhir pertunjukan, sang panjak (seorang
pemain gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir
pertunjukkan dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.
Seluruh pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan.
Perempuan sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri. Alat musik ada di antara
mereka. Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode
dan adegan. Lagu-lagu Mak Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri
atas sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa
tambur gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk,
canang, sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya
merupakan alat utama.
Pemain yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan
cara menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang.
Tangannya melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua
jarinya kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna
raja sedang mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan
dari luar dan menolak kejahatan. Para lelaki tidak menari, tetapi melawak
dengan cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit
peralatan panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan
oleh tokoh utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan
untuk menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.
3. Didong
Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah
bagian tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal
dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam
bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi
musik sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari.
Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik
khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan
badan.
Kelompok didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk
berkeliling selama pertunjukkan. Empat atau enam di antara mereka
dikenal sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong. Seorang ceh
harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya.
Pertunjukan didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok
yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada awalnya didong
diadakan sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan,
hari-hari libur penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah
menjadi cara untuk menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan
panitia. Panitia mencari dana untuk membangun mesjid atau sekolah.
Pertunjukkannya akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual, dan untuk
menarik pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong
terkenal. Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam
dengan dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok
diberi waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok melakukan
pergelaran bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan
menggelar sajak permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang
tidak dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang ditetapkan oleh juri yang
khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga
orang ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.
4. Tanggomo
Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi
Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau
peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain
menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam
peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara
harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo
(ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita
dengan semenarik mungkin.
Tanggomo merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar
Gorontalo, kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk
dinikmati oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi, tanggomo
juga menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya
mengambil peritiwa yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita
tanggomo juga meliputi dongeng, mitos dan legenda, peristiwa rekaan
dan ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Pada saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata
dengan bermacam cara dan gaya. Pendongeng diiringi alat musik seperti
gambus, (semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan rebana.
Pendongan juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia
menggunakan gerakan tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan
irama untuk menghidupkan ceritanya. Ta motanggomo menggunakan
gaya bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi
untuk meningkatkan cerita dan memperkuat makna.
5. Rabab Pariaman
Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera
Barat. Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh
tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi
Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di
depannya, lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar
ia juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan.
Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan
berakhir tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat
berkumpul yang mana saja dengan suasana tradisional, di dalam atau di
luar – warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan nagari, dan pestapesta
untuk merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin
satuan matrilineal).
Rabab Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini
Rabab Pariaman mengambil nuansa yang lebih duniawi dan tak boleh
dimainkan di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat keagamaan.
Isi cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai
keberhasilan dalam hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai
keberhasilan dan menimbulkan tanggapan dari penonton.
Teks Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba.
Dendang berbentuk pantun (syair berbaris empat atau lebih) dengan
sistem persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak
bermakna, isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu
genap, kecuali bila ada ulangan pada baris tertentu, tergantung pada irama.
Isi dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang, rindu
kampung halaman, dan sebagainya. Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang dipertunjukkan dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik, dimainkan dengan latar kerajaan dengan tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita, kecenderungannya adalah memilih hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.
6. Pantun Sunda
Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda
di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita
cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair
cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan
pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional,
seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan
berpuasa selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai
bernyanyi.
Seni menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi
menyanyi, mendaki dan menuruni skala pentatonik (lima nada) memetik
kecapi indung, “Induk kecapi” berbentuk perahu. Kedelapanbelas senar
kecapi dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil
ke pasak penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda
menandai suasana hati dan perubahan adegan cerita serta menarik
perhatian, seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.
Kebanyakan kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan
nyanyian dengan syair cerita, berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran,
sebelum beralih ke Islam akhir abad ke – 16. Pada tingkat yang tertinggi,
kisah itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang
dalam hidupnya. Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun
seringkali berimprovisasi, tergantung seleras penonton. Salah satu pantun
Sunda yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang
menceritakan tentang lutung dalam kutukan.

sumber : Antropologi Kontekstual XI SMA/MA Program Bahasa

5 komentar: