Kamis, 23 Mei 2013

Relativisme Budaya


  1. Pendahuluan
Kajian pemikiran relativisme budaya banyak menyita perhatian berbagai kalangan, baik dari ilmuan, seniman, politisi, ekonom, ahli hukum, kaum bangsawan, ataupun yang lainnya. Tentu saja, sesuai hukum produk pemikiran, ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang mendukung dan memujinya, sekaligus ada yang menolak dan mencercanya.  
Relativisme budaya begitu menarik perhatian banyak kalangan pemikir, salah satunya, karena pemikiran tersebut berani menolak kemapanan dan menisbikan budaya yang ketika kemunculannya sudah establish, terutama pada masyarakat Eropa. Ia menilai tidak ada suatu komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding yang lain. Keunggulan suatu budaya sangat relatif, karenanya tidak ada produk budaya yang mesti dianggap sebagai budaya unggulan, apalagi diyakini memiliki nilai yang bersifat universal, sehingga setiap orang harus menghargai budaya yang berbeda dengan budaya leluhurnya atau dengan budaya dari daerah lain yang berbeda. Abdala (2008) menyatakan bahwa relativisme budaya adalah paham bahwa semua budaya baik;tidak ada budaya yang dianggap superior, sementara yang lain inferior; budaya adalah hasil dari kesepakatan sosial (social construction). Budaya tidak mengandung esensi tertentu yang membuatnya “baik” atau “buruk”.Mungkin saja sebuah perilaku budaya dinilai baik pada suatu komunitas masyarakat tertentu, tetapi sebaliknya ia dinilai aneh, ganjil, atau bahkan lucu oleh komunitas masyarakat yang lain. Jadi, kalaupun mungkin  ada keunggulan budaya, ia hanya sebatas unggul pada konteks masyarakatnya, bukan karena dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya.
Dengan demikian, relativisme budaya menawarkan sebuah pemikiran bahwa sesederhana apapun bentuk atau wujud produk budaya, ia harus dihargai. Sebab secara substantif tidak ada suatu produk budaya yang dapat dinilai baik, buruk, lebih baik, atau lebih buruk dibanding budaya-budaya lainnya. Ia patut dihargai bukan dilihat dari sisi penilaian kualitas yang didasarkan pada budaya yang berebeda, tetapi karena ia memiliki arti (meaningful) pada konteks masyarakat yang melahirkannya, sekalipun mungkin hal itu dalam pandangan komunitas masyarakat lain dianggap sangat tidak berarti (meaningless).
Makalah ini ditulis dalam upaya menjawab kegelisahan pemikiran terkait dengan lahirnya fenomena pemikiran relativisme budaya di tengah kancah pemikiran modern. Tulisan ini diharapkan sedikit banyak dapat memberikan pencerahan terhadap berbagai kontroversi yang terjadi dalam merespons aliran pemikiran relativisme budaya di kalangan masyarakat modern.

  1. Permasalahan
Masalah utama yang ingin dipecahkan dalam mengkaji aliran pemikiran relativisme budaya ini adalah terkait dengan kenyataan bahwa masih terdapat komunitas masyarakat yang merasa diri unggul dan berhak memegang hegemoni, mengukur budaya orang lain berdasarkan budayanya (etnosentris). Karenanya beragam stereotip pun muncul: tradisional-modern, desa-kota, masyarakat maju dan masyarakat terbelakang, suku pedalaman, suku terasing, dan lain-lain. Pandangan-pandangan yang bersifat klise ini tentu saja menjadi ironi ketika muncul sebuah pemikiran bahwa tidak ada seorangpun yang berhak melakukan pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kepada penilaian kualitas produk budayanya yang didasarkan pada budaya yang berbeda.
Selain itu, dalam kehidupan nyata, di satu sisi semua orang meyakini bahwa budaya lain perlu dihargai dan dihormati, tetapi di sisi lain masih sering terjadi benturan antarbudaya bahkan benturan antarperadaban seperti yang diramalkan Huntington akan terjadi secara dahsyat yang pada akhirnya akan menghancurkan seluruh peradaban manusia.

C.    Latar Historis Lahirnya Relativisme Budaya
Istilah relativisme budaya dapat dilihat dari ragamnya. Relativisme terbagi ke dalam relativisme individual, disebutsubjektivisme dan relativisme sosial, disebut konvensionalisme (Pojman:1990). Relativisme individual adalah bahwa setiap individu menentukan kaidah moralnya sendiri. Subjektivisme (istitilah lain dari relativisme individual) memandang bahwa pilihan-pilihan individu menentukan validitas sebuah prinsip moral. Penegasannya adalah moralitas bersemayam di mata orang yang melihatnya (Shomali, 2005). Relativisme sosial adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Hal ini seperti dinyatakan (Donaldson, 1989) bahwa kebenaran moral hanyalah kesepakatan kultural di masyarakat. Konvensionalisme (istilah lain darirelativisme sosial) memandang bahwa prinsip-prinsip moral secara relatif benar, sesuai dengan kovensi budaya atau masyarakat tertentu. Nama lain dari relativisme sosial adalah Relativisme budaya  (Shomali, 2005).
Relativisme budaya, secara Epistemologi, berasal dari Jerman, sebagai tanggapan terhadap adanya etnosentrisme[1]barat, yang jika dibiarkan berkembang akan melahirkan rasisme, yaitu adanya kebencian dari suku bangsa terhadap suku bangsa yang lain, atau istilah Mulyana (1996) etnosentrisme adalah akar rasisme. Kita bisa melihat pengaruh dari rasisme di Jerman, terutama di bawah kekuasaan Hitler, yang menghasilkan kebencian dari Ras Jerman terhadap Ras Yahudi yang menimbulkan pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa.
Secara teoritis, relativisme budaya didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas
relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku  manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang (Koentjaraningrat: . Jadi  jika suatu budaya tidaksama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz[2] dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah  tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas.
Franz Boas, awalnya sebagai pengajar dalam ilmu fisika dan ilmu geografi, dan dipengaruhi begitu kuat oleh pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) yang berargumentasi bahwa manusia tidak mampu mengarahkan dan memediasi pengetahuan di dunia. Semua pengalaman kita di dunia dimediasi lewat pikiran manusia,  yang secara universal  persepsi terbentuk berdasarkan pada kondisi wilayah dan waktu tertentu. Suatu budaya dapat menjadi media dalam pemahaman yang terbatas terhadap realitas yang samar.  Ia memahami "budaya" termasuk bukan hanya seperti rasa dalam makanan, seni dan musik, atau kepercayaan dalam agama. Ia berasumsi jauh lebih luas dalam mengartikan budaya, yang didefinisikan sebagai:  the totality of the mental and physical reactions and activities that characterize the behavior of the individuals composing a social group collectively and individually in relation to their natural environment, to other groups, to members of the group itself, and of each individual to himself  (Boas:1963); keseluruhan dari reaksi mental,  fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu yang menggubah suatu kelompok sosial secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap   lingkungan alami, kelompok yang lain, kelompoknya, dan tehadap dirinya sendiri.
Pengertian budaya ini di hadapan para antropolog  terdapat dua permasalahan:  pertama, bagaimana untuk lepas dari ikatan budayanya yang tidak disadarinya, yang tidak dapat dihindari dari tanggapan bias kita dan berbagai reaksi dunia, dan kedua, bagaimana memahami budaya yang tidak familier. Karenanya, prinsip relatifitas budaya memaksa ahli antropologi untuk mengembangkan strategi metoda-metoda dan heuristik yang inovatif.

Sebagai Suatu Alat Metodologis
Diantara perang dunia I dan perang dunia II, “relatifisme budaya” menjadi alat bagi para antropolog Amerika sebagai penolakan terhadap klaim barat  tentang ke- universal-an dan menyelamatkan berbagai kebudayaan non-barat (timur). Hal ini difungsikan untuk mentrasfer epistemologi Boas ke dalam pelajaran metodologi.
Yang   paling jelas  dalam persoalan bahasa. Meski bahasa biasanya dibahas sebagai alat komunikasi, Boas memahami bahwa hal itu juga bermakna sebagai kategori pengalaman. Dengan demikian,  meski tiap orang merasa melihat pancaran dengan cara yang sama,  dari suatu rangkaian pada warna, orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang berbeda membagi atas rangkaian ini ke dalam warna-warna terpisah dengan berbagai cara.
Beberapa bahasa tidak memiliki kata yang berpasangan dengan Orang-Orang Inggris  seperti kata  "hijau”. Ketika orang-orang yang berbicara bahasa-bahasa seperti itu ditunjukkan sesuatu yang berwarna  hijau, beberapa kelompok masyarakat mengidentifikasi-nya menggunakan kata mereka untuk biru, yang lain mengidentifikasi nya menggunakan kata mereka untuk kuning. Melville Herskovits (2008), murid Boas, meringkas prinsip relativism budaya: Judgements are based on experience, and experience is interpreted by each individual in terms of his own enculturation "tiap pendapat didasarkan pada pengalaman, dan pengalaman ditafsirkan oleh masing-masing individu berdasarkan budayanya sendiri.
Boas dan para siswa-nya menyadari bahwa untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap budaya lain, mereka perlu menggunakan metoda yang dapat menolong mereka terlepas dari konsep dasar etnosentris. Metoda tersebut adalah etnografi, yaitu ilmu  yang mempelajari sukubangsa beserta kebudayaannya. Pada  dasarnya, mereka siap menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang lain untuk satu periode waktu tertentu, sehingga mereka bisa belajar bahasa lokal dan budaya setempat, paling tidak  secara parsial, di dalam kebudayaan tersebut.
Di dalam konteks ini, relativism budaya menjadi sangat penting sebagai  metodologis, karenanya perlu perhatian kita semua bahwa betapa pentingnya memahami budaya lokal berdasarkan keyakinan masyarakat tertentu. Heyer menyatakan: Cultural relativity, to phrase it in starkest abstraction, states the relativity of the part to the whole. The part gains its cultural significance by its place in the whole, and cannot retain its integrity in a different situation (1948: 163);  "Relatifitas budaya, untuk mengutarakan nya dalam kondisi paling abstrak, menyatakan bahwa relativitas merupakan bagian dari keseluruhan. Bagian yang diperoleh pada makna budaya berdasarkan wilayah di dalam keseluruhannya dan tidak dapat mempertahankan  keutuhannya dalam situasi yang berbeda.

D.    Relativisme Budaya dalam Kajian Pemikir Modern

1.      Gilbert Harman

Gilbert Harman merupakah salah satu tokoh yang berpengaruh di era modern dalam memperkokoh ekstensi paham relativisme budaya, khususnya di bidang moral sebagai bagian dari unsur budaya. Dalam pandangan Harman, versi strandar relativisme yang ada selama ini tidak lagi efektif. Oleh karena itu, dia bersama-sama dengan David Wong – tokoh relavisme yang juga akan dikaji dalam makalah ini – mengembangkan bentuk relativisme yang rumit dan moderat untuk menghadapi kelompok-kelompok yang menentang paham ini (Shomali: 2005, 178). Harman mengkaji relativisme moral dengan cara yang sangat berbeda dengan absolutisme moral. Namun demikian, melalui pendekatan internalistinya, dia tetap menganggap absolitisme moral sebagai pendapat tentang alasan moral yang mendasari manusia. Dia mengatakan “Saya  akan memahami keyakinan terhadap nilai-nilai mutlak sebagai keyakinan bahwa setiap orang memiliki alasan untuk berharap atau bercita-cita. Mengatakan adanya hukum moral yang berlaku pada setiap orang menurut saya berarti mengatakan setiap orang mempunyai alasan yang memadai untuk mengikuti hukum itu” (Harman: 1989, 370).

Menurut Harman moral berbeda dengan nihilisme moral. Tidak ada satu pun moralitas yang benar, namun nilihisme moral “menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menolak sama sekali moralitas, termasuk segala bentuk moral relatif (Harman: 1996, 5). Bentuk nihilisme yang paling mederat menegaskan bahwa ada fakta-fakta moral, namun tidak jalan untuk mengetahuinya. Pernyataan ini menunjukan bahwa tanggungjawab moral bergantung pada pengetahuan. Di sini, tampak jelas bahwa nihilisme mengabaikan moralitas. Relativisme moral lebih moderat, menurutnya, moralitas tidak boleh diabaikan  dan putusan moral relatif dapat terus memainkan peran yang serius dalam pemikiran moral.

Harman berupaya menampilkan relativisme moral sebagai sebuah tesis logika. Dia menyatakan bahwa dia tdak menolak bahwa sebagian moralitas “secara objektif” lebih benar daripada yang lain atau bahwa ada ukuran-ukuran obyektif terhadap moral. Baginya, sesuatu itu besar hanya berarti dalam hubungan dengan perbandingan yang lain. Demikian juga, seseorang bersalah dalam melakukan sesuatu hanya berarti dalam hubungan dengan sebuah kesepakatan atau pemahaman.  Tesis logika yang dimaksud Harman itu menurut Pojman (1990), bagi Harman, internalisme merupakan sebuah tesis logika tentang bentuk sebuah putusan moral. Harman menyatakan bahwa putusan moral mempunyai dua putusan logika atau dua macam implikasi: keduanya mengisyaratkan bahwa sang agen mempunyai alasan yang baik untuk berbuat menurut cara tertentu, dan bahwa sang pembicara menyetujui alasan itu dan mengira si pendengar atau subjek putusan itu juga melakukan hal yang serupa. Dengan demikian, Harman mengatakan bahwa secara logis tidaklah pantas mengatakan, “Hitler tidak boleh berbuat menurut caranya sendiri”, karena dia tidak mempunyai prinsip yang sama dengan kita.

            Tesis logika Harman di atas harus dicermati lebih jeli karena ada ruang-ruang logikanya yang cenderung dipaksakan dan ketidakpastian. Di antaranya, adalah benar sulit mendapatkan konsep “besar” tanpa dipersandingan/diperbadingkan dengan konsep “kecil”. Tapi, hal yang sama tidak terjadi pada moral. Tidaklah sulit bagi seseorang untuk mendefinisikan “benar” tanpa merujuk pada konsep “salah”.  Hal lain yang harus dikritisi dalam tesis logika Harman adalah tentang putusan moral dalam kaitan dengan perbuatan seseorang. Sangat diragukan bahwa keputusan moral yang diambil oleh seseorang bersifat linier dengan perbuatan yang dilakukan.

            Selain menggunakan tesis logika, untuk memperkuat argumentasi relativisme moralnya, Harman mencoba membandingkan realitivisme moral dengan relativisme Einstein. Menurut Einstein, sebuah objek dapat memiliki massa yang berbeda terkait dengan bingkai ruang dan waktu dan tidak ada bingkai ruang waktu yang istimewa yang menentukan massa yang sebenarnya. Dalam Moral Relativism and Moral Objectivity, Harman, menggunakan logika Einstein tersebut untuk menjabarkan relativisme moral. Kebenaran dan kesalahan moral bersifat relatif terhadap bingkai moral tertentu. Dan tidak ada bingkai moral yang secara objektif istimewa sebagai moralitas yang benar (Shomali: 2005).

Langkah perbandingan Harman di atas menyisakan pertanyaan-tertanyaaan, seperti apakah perbedaan/ perselisihan gerak dan moral disebabkan oleh prinsip yang mendasar atau penilaian yang berbeda terhadap “fakta-fakta kasus yang ada”. Karena dalam kenyataannya, tidak ada jaminan dua orang yang berada di bingkai moral yang berbeda (dalam kasus keharusan menolong orang yang lemah misalnya) ketika dipertemukan, mereka mengakatan bahwa mereka berselisih. Di samping itu, Menurut Shomali (2005, 187), salah satu sebab timbulnya perselisihan moral adalah kegagalan mengidentifikasi semua faktor yang relevan. Di samping itu, tidak seluruhnya tepat  membandingan relafisme fisik Einstein dengan realifisme moral. Berbeda dengan gerak relatif, yang bisa jadi gerak itu sendiri, moral relatif bukan moral itu sendiri, tetapi moral dalam persepsi dan atau moral dalam budaya (Moh. A. Shomali, 186). Contoh, mencuri itu salah. Itu prinsip moral, tetapi secara perseptual atau dalam kasus buadaya, mencuri itu bisa salah juga bisa benar.

 

2.      David Wong

Teori relatisme etika Wong disadarkan atas pernyataan tidak adanya satu pun moralitas yang benar, dan bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antrapribadi. Menurutnya, kesulitan utama dalam menjelaskan pengalaman moral adalah mendamaikan ciri pengalaman kita yang menyatakan objektivitas moralitas dengan ciri lain yang menyatakan subjektivitas moralitas.Secara teoritis, Wong menerima  konsep “kebenaran”, tetapi membuat “keberanaran” itu menjadi relatif. Secara tegas dia menyatakan bahwa tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia (Moh. A. Shomali: 2005, 242)

Relativisme moral Wong berpijak pada tiga jenis ketakterbandingan (incommensurability);pertama, ketakterbandingan menyangkut penerjemahan. Menurutnya, ada beberapa istilah dari berbagai bahasa  tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam istilah bahasa kita sendiri; kedua, ketakterbandingan menyangkut justifikasi. Adanya beberapa teori yang masuk akal yang mempunyai premis yang berbeda mengenai hakekat dunia atau bentuk-bentuk penalaran; ketiga, ketakterbangingan evaluatif. Katanya, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa teorinya sendiri lebih baik daripada teori orang lain.

Bertolak dari ketiga ketakterbandingan di atas, Wong mengatakan kita dapat menjustifikasi premis dan bentuk penalaran kita sendiri yang paling mendasar, sehingga tidak ada cara yang menunjukkan bahwa pendapat orang lain lebih rendah daripada pendapat kita.

Atas dasar tiga dalil ketakterbandingan di atas, Wong yakin terdapat berbagai moralitas yang berbeda secara fundamental yang tidak diakibatkan oleh penerapan nilai atau prinsip umum yang berbeda. Menurutnya, contoh terbaik atas adanya perbedaan moralitas tersebut adalah perbedaan moralitas yang berintikan perbaikan dan moralitas yang berintikan hak. Moralitas kebaikan menekankan cita-cita bentuk tertentu kehidupan komunitas di mana indiviu diterima dan mungkin berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu untuk kebebasan atau kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan seseorang. Moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Sedangkan moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas (Shaomali: 2005, 252).

Untuk mengatasi konflik batin dan antarpribadi sebagaiaman tersebut di atas, Wong memandang perlu adanya kaidah yang dilaksanakan oleh masayarakat (Wong: 1984, 37). Wong mengkaui ada tiga jenis kaidah: seperangkat kaidah yang menunjukkan sarana yang mutlak atau efisien untuk mencapai tujuan tertentu; seperangkat kaidah yang mendefinisikan prilaku sosial atau itiket; dan seperangkat kaidah untuk menangani konflik batin dan antarpribadi. Menurutnya, kaidah ketiga inilah yang melahirkan moralitas.

Berbeda dengan teori yang digunakan Harman yang bersifat internalistik, teori Wong membedakan antara menjadi benar dan memberikan alasan bagi tindakan. Wong tidak percaya konvensionalisme moral dan tawar menawar implisit. Meskipun demikian, dia percaya moralitas meruapakan kreasi sosial. Dia seorang realis, menerima fakta-fakta khas yang bersifat moral.. Pernyataan-pernyataan moral menurutnya, benar selama berhubungan dengan fakta-fakta  moral. Bagi Wong moralitas berakar pada watak dan kebutuhan nyata manusia. Yang agak aneh, Wong mengangap tidak ada persoalan dalam menerapkan kaidah moral terhadap orang dari budaya lain. Pandangan Wong yang disebut terakhir ini menempatkan dirinya bukan golongan aliran relativisme sejati.

Banyak hal yang perlu dicermati dari pandangan Wong di atas antara lain: apakah benar asal-usul moralitas berakar pada realitas dan khususnya watak manusia; apakah moralitas yang berintikan kebaikan betul-betul berbeda dengan moralitas yang berintikan hak. Bukankah kedua jenis moralitas tersebut memiliki titik persamaan dan saling melengkapi; Jika demikian dimana letak relativitas moral.

 

3.      George Bernard Shaw

George Bernard Shaw lahir Dublin26 Juli 1856 – meninggal 2 November 1950 di Hertfordshire adalah novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Pada 18 Desember 1926, ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan (pada 1925) dan Academy Award for Writing Adapted Screenplay (pada 1938 untuk Pygmalion). Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tapi hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Padahal, ia yang lebih dikenal sebagai dramawan, memulai karier dalam kondisi frustasi akibat kemiskinan. http://id.wikipedia.org/wi).

Pemikiran Shaw tentang relativisme budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara, Androcles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya, maka  konsep relativitasme budaya juga terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
  Nalar ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw. Maka wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai tokoh yang toleran. Toleransi Shaw dapat dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw (1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri.  Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut.
Di samping menimbulkan sikap toleran, konsep relativitas budaya juga menimbuhkan cara pandang yang realistis sebagaimana dipelihatkan oleh Harman di atas. Relativitas budaya disamping sebagian didasari oleh nalar realisme juga menghasilkan cara pandang yang realistik. Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia. Katanya "Saya telah mempelajari dia (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia." (George Bernard Shaw dalam “The Genuine of Islam” (Islam yang Murni), volume I no. 81936). (http://www.indonesia.faithfreedom).

E.     Kesimpulan
Pertama, relativisme budaya muncul sebagai reaksi dari adanya etnosentrisme yang berkembang di Eropa, yang selalu mengukur baik-buruk dan benar-salah suatu budaya berdasarkan budayanya, sedangkan  relativitas budaya berprinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan budaya di wilayahnya masing-masing dan mengajak kepada siapapun untuk menghargai suatu budaya yang berbeda atau memiliki perbedaan dengan budayanya, sehingga menghasilkan penilaian terhadap budaya yang bersifat relatif. Hal ini berarti bahwa tidak ada suatu komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding dengan budaya yang lain.
Kedua, semua hasil pemikiran dan cara kerja aliran relativisme budaya merupakan sesuatu yang amat penting untuk dipelajari oleh siapapun yang berminat, baik bagi perkembangan kebudayaan (ilmu budaya) untuk kepentingan membangun dan mengembangkan teori ataupun untuk kepentingan memecahkan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar