Indonesia
terdiri dari bermacam-macam masyarakat bahasa. Setiap
masyarakat
bahasa di Indonesia memiliki tradisi lisan, baik yang berupa
mitos,
legenda dan dongeng yang dipentaskan berbagai seni pertunjukan
sebagai
sarana pewarisan dan pengembangan kebudayaan dari generasi
ke
generasi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam
beberapa
masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari
Indonesian
Heritage, jilid 10 (2002).
1.
Wayang Kulit
Wayang
kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia.
Kumpulan
lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra
dari
tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan
dan
Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk
teater
ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan
layar
lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan
berbagai
suara dan bunyi-bunyian.
Wayang
terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam
inci
hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis
hiasan
kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi,
sehingga
tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang
penting
dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya
“Pohon
kehidupan”,
yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan
ataupun
pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan
wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan
dalang.
Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya,
tetapi
juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk
menciptakan
suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring
pertunjukkan.
Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang.
Di
atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir
untuk
menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang
yang
tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi
satu
sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur
keluar
dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib
ke
tempat asal mereka.
Dalang
sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama
pertunjukan
ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya.
Ia
tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan
meletakkan
sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di
depan
layar.
Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya.
Dalang
mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan
(kayon), menyentuhkannya ke dahi serta
meletakkannya di sebelah kanan
atau
kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan
pertunjukan
dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh
gamelan
lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa
Kawi
arkais dan sulit dimengerti.
Dalang mengimprovisasi banyak dialog,
sementara
kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan
pengisahan.
2.
Mak Yong
Tradisi
teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan
mulai
abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu
ke
Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau,
Sumatera
Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah
karena
menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari,
musik,
mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi
kelas
atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian
timur
laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun
1700-an.
Fungsi
Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa.
Sultan
dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk
sultan
sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan. Bahkan kini
Mak
Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak
atau
bomoh (seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa
penari
dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di
atas
panggung. Unsur ritual dilengkapi oleh gong, topeng serta penari
diperciki
air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan putri (putri
Mak
Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka
kepercayaan
diri dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai
keseluruhan
pertunjukkan. Di akhir pertunjukan, sang panjak (seorang
pemain
gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir
pertunjukkan
dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.
Seluruh
pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan.
Perempuan
sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri. Alat musik ada di antara
mereka.
Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang
tidak
terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode
dan
adegan. Lagu-lagu Mak Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri
atas
sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa
tambur
gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk,
canang,
sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya
merupakan
alat utama.
Pemain
yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan
cara
menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang.
Tangannya
melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua
jarinya
kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna
raja
sedang mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan
dari
luar dan menolak kejahatan. Para lelaki tidak menari, tetapi melawak
dengan
cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit
peralatan
panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan
oleh
tokoh utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan
untuk
menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.
3.
Didong
Didong
adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah
bagian
tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal
dari
dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam
bahasa
Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi
musik
sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari.
Pemain
menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik
khusus.
Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan
badan.
Kelompok
didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk
berkeliling
selama pertunjukkan. Empat atau enam di antara mereka
dikenal
sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong.
Seorang ceh
harus
dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya.
Pertunjukan
didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok
yang
harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada awalnya didong
diadakan
sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan,
hari-hari
libur penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah
menjadi
cara untuk menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan
didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan
panitia.
Panitia mencari dana untuk membangun mesjid atau sekolah.
Pertunjukkannya
akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual, dan untuk
menarik
pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong
terkenal.
Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam
dengan
dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok
diberi
waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok melakukan
pergelaran
bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan
menggelar
sajak permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang
tidak
dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang ditetapkan oleh juri yang
khusus
ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga
orang
ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.
4.
Tanggomo
Tanggomo
merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi
Utara.
Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau
peristiwa
menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain
menghibur,
tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam
peristiwa
sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara
harfiah,
tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo
(ta
motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita
dengan
semenarik mungkin.
Tanggomo
merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar
Gorontalo,
kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk
dinikmati
oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi, tanggomo
juga
menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya
mengambil
peritiwa yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita
tanggomo
juga meliputi dongeng, mitos dan legenda, peristiwa rekaan
dan
ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Pada
saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata
dengan
bermacam cara dan gaya. Pendongeng diiringi alat musik seperti
gambus,
(semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan rebana.
Pendongan
juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia
menggunakan
gerakan tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan
irama
untuk menghidupkan ceritanya. Ta motanggomo menggunakan
gaya
bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi
untuk
meningkatkan cerita dan memperkuat makna.
5.
Rabab Pariaman
Rabab
Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera
Barat.
Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh
tukang
rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi
Pariaman.
Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di
depannya,
lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar
ia
juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan.
Pertunjukkan
biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan
berakhir
tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat
berkumpul
yang mana saja dengan suasana tradisional, di dalam atau di
luar
– warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan nagari, dan
pestapesta
untuk
merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin
satuan
matrilineal).
Rabab
Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini
Rabab
Pariaman mengambil nuansa yang lebih duniawi dan tak boleh
dimainkan
di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat keagamaan.
Isi
cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai
keberhasilan
dalam hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai
keberhasilan
dan menimbulkan tanggapan dari penonton.
Teks
Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba.
Dendang
berbentuk pantun (syair berbaris empat atau lebih) dengan
sistem
persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak
bermakna,
isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu
genap,
kecuali bila ada ulangan pada baris tertentu, tergantung pada irama.
Isi
dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang, rindu
kampung
halaman, dan sebagainya. Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang
dipertunjukkan dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik,
dimainkan dengan latar kerajaan dengan tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa
malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita, kecenderungannya adalah memilih
hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.
6.
Pantun Sunda
Pantun
Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda
di
Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita
cerita
pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair
cerita,
biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan
pantun
Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional,
seperti
pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan
berpuasa
selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai
bernyanyi.
Seni
menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi
menyanyi,
mendaki dan menuruni skala pentatonik
(lima nada) memetik
kecapi
indung, “Induk kecapi” berbentuk perahu. Kedelapanbelas senar
kecapi
dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil
ke
pasak penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda
menandai
suasana hati dan perubahan adegan cerita serta menarik
perhatian,
seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.
Kebanyakan
kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan
nyanyian
dengan syair cerita, berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran,
sebelum
beralih ke Islam akhir abad ke – 16. Pada tingkat yang tertinggi,
kisah
itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang
dalam
hidupnya. Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun
seringkali
berimprovisasi, tergantung seleras penonton. Salah satu pantun
Sunda
yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang
menceritakan
tentang lutung dalam kutukan.
Indonesia
terdiri dari bermacam-macam masyarakat bahasa. Setiap
masyarakat
bahasa di Indonesia memiliki tradisi lisan, baik yang berupa
mitos,
legenda dan dongeng yang dipentaskan berbagai seni pertunjukan
sebagai
sarana pewarisan dan pengembangan kebudayaan dari generasi
ke
generasi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam
beberapa
masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari
Indonesian
Heritage, jilid 10 (2002).
1.
Wayang Kulit
Wayang
kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia.
Kumpulan
lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra
dari
tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan
dan
Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk
teater
ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan
layar
lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan
berbagai
suara dan bunyi-bunyian.
Wayang
terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam
inci
hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis
hiasan
kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi,
sehingga
tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang
penting
dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya
“Pohon
kehidupan”,
yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan
ataupun
pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan
wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan
dalang.
Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya,
tetapi
juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk
menciptakan
suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring
pertunjukkan.
Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang.
Di
atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir
untuk
menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang
yang
tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi
satu
sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur
keluar
dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib
ke
tempat asal mereka.
Dalang
sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama
pertunjukan
ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya.
Ia
tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan
meletakkan
sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di
depan
layar.
Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya.
Dalang
mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan
(kayon), menyentuhkannya ke dahi serta
meletakkannya di sebelah kanan
atau
kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan
pertunjukan
dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh
gamelan
lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa
Kawi
arkais dan sulit dimengerti.
Dalang mengimprovisasi banyak dialog,
sementara
kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan
pengisahan.
2.
Mak Yong
Tradisi
teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan
mulai
abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu
ke
Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau,
Sumatera
Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah
karena
menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari,
musik,
mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi
kelas
atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian
timur
laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun
1700-an.
Fungsi
Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa.
Sultan
dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk
sultan
sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan. Bahkan kini
Mak
Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak
atau
bomoh (seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa
penari
dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di
atas
panggung. Unsur ritual dilengkapi oleh gong, topeng serta penari
diperciki
air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan putri (putri
Mak
Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka
kepercayaan
diri dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai
keseluruhan
pertunjukkan. Di akhir pertunjukan, sang panjak (seorang
pemain
gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir
pertunjukkan
dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.
Seluruh
pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan.
Perempuan
sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri. Alat musik ada di antara
mereka.
Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang
tidak
terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode
dan
adegan. Lagu-lagu Mak Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri
atas
sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa
tambur
gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk,
canang,
sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya
merupakan
alat utama.
Pemain
yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan
cara
menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang.
Tangannya
melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua
jarinya
kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna
raja
sedang mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan
dari
luar dan menolak kejahatan. Para lelaki tidak menari, tetapi melawak
dengan
cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit
peralatan
panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan
oleh
tokoh utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan
untuk
menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.
3.
Didong
Didong
adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah
bagian
tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal
dari
dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam
bahasa
Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi
musik
sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari.
Pemain
menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik
khusus.
Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan
badan.
Kelompok
didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk
berkeliling
selama pertunjukkan. Empat atau enam di antara mereka
dikenal
sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong.
Seorang ceh
harus
dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya.
Pertunjukan
didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok
yang
harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada awalnya didong
diadakan
sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan,
hari-hari
libur penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah
menjadi
cara untuk menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan
didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan
panitia.
Panitia mencari dana untuk membangun mesjid atau sekolah.
Pertunjukkannya
akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual, dan untuk
menarik
pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong
terkenal.
Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam
dengan
dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok
diberi
waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok melakukan
pergelaran
bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan
menggelar
sajak permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang
tidak
dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang ditetapkan oleh juri yang
khusus
ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga
orang
ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.
4.
Tanggomo
Tanggomo
merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi
Utara.
Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau
peristiwa
menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain
menghibur,
tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam
peristiwa
sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara
harfiah,
tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo
(ta
motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita
dengan
semenarik mungkin.
Tanggomo
merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar
Gorontalo,
kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk
dinikmati
oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi, tanggomo
juga
menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya
mengambil
peritiwa yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita
tanggomo
juga meliputi dongeng, mitos dan legenda, peristiwa rekaan
dan
ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Pada
saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata
dengan
bermacam cara dan gaya. Pendongeng diiringi alat musik seperti
gambus,
(semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan rebana.
Pendongan
juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia
menggunakan
gerakan tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan
irama
untuk menghidupkan ceritanya. Ta motanggomo menggunakan
gaya
bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi
untuk
meningkatkan cerita dan memperkuat makna.
5.
Rabab Pariaman
Rabab
Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera
Barat.
Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh
tukang
rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi
Pariaman.
Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di
depannya,
lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar
ia
juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan.
Pertunjukkan
biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan
berakhir
tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat
berkumpul
yang mana saja dengan suasana tradisional, di dalam atau di
luar
– warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan nagari, dan
pestapesta
untuk
merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin
satuan
matrilineal).
Rabab
Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini
Rabab
Pariaman mengambil nuansa yang lebih duniawi dan tak boleh
dimainkan
di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat keagamaan.
Isi
cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai
keberhasilan
dalam hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai
keberhasilan
dan menimbulkan tanggapan dari penonton.
Teks
Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba.
Dendang
berbentuk pantun (syair berbaris empat atau lebih) dengan
sistem
persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak
bermakna,
isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu
genap,
kecuali bila ada ulangan pada baris tertentu, tergantung pada irama.
Isi
dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang, rindu
kampung
halaman, dan sebagainya. Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang
dipertunjukkan dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik,
dimainkan dengan latar kerajaan dengan tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa
malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita, kecenderungannya adalah memilih
hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.
6.
Pantun Sunda
Pantun
Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda
di
Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita
cerita
pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair
cerita,
biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan
pantun
Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional,
seperti
pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan
berpuasa
selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai
bernyanyi.
Seni
menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi
menyanyi,
mendaki dan menuruni skala pentatonik
(lima nada) memetik
kecapi
indung, “Induk kecapi” berbentuk perahu. Kedelapanbelas senar
kecapi
dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil
ke
pasak penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda
menandai
suasana hati dan perubahan adegan cerita serta menarik
perhatian,
seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.
Kebanyakan
kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan
nyanyian
dengan syair cerita, berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran,
sebelum
beralih ke Islam akhir abad ke – 16. Pada tingkat yang tertinggi,
kisah
itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang
dalam
hidupnya. Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun
seringkali
berimprovisasi, tergantung seleras penonton. Salah satu pantun
Sunda
yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang
menceritakan
tentang lutung dalam kutukan.
sumber : Antropologi Kontekstual XI SMA/MA Program Bahasa
TERIMA KASIH KAK,SANGATMEMBANTU
BalasHapusterima kasih artikelnya...
BalasHapusThanks gan atas infonya
BalasHapusterimakasih artikelnya sangat membantu
BalasHapusMantul
BalasHapus